Apa kewajiban industri farmasi dalam produksi obat aman?
Kontaminasi etilen glikol yang diduga sebagai salah satu penyebab meningkatnya kasus gagal ginjal akut pada anak, merupakan salah satu insiden terkait produksi obat di Indonesia baru-baru ini. Insiden terkait obat yang pernah tercatat sebelumnya antara lain kasus tertukarnya bupivacaine dengan asam tranexamat pada tahun 2015 yang diduga akibat kesalahan prosedur saat proses produksi, dan kasus cemaran NDMA dari injeksi ranitidine pada tahun 2019. Catatan ini membuat masyarakat bertanya tanya bagaimana keamanan mutu suatu produk obat dijamin? Siapakah yang bertanggung jawab dalam pengawasan keamanan dan kualitas obat?
Bahasan produksi, keamanan, dan mutu produk kefarmasian hingga regulasinya merupakan topik yang padat dan dalam, namun dalam tulisan ini dirangkum beberapa hal yang menjadi perhatian dalam proses produksi obat meliputi regulasi, konsep pengawasan mutu dalam farmasi, penarikan produk, serta pengawasan keamanan obat post-market yang dikenal juga dengan farmakovigilans.
Regulasi obat di Indonesia
Pengawasan keamanan dan mutu produk obat yang digunakan sudah menjadi perhatian sejak dulu. Akan tetapi konsep dan regulasi pengawasan keamanan dan mutu obat lahir dan berevolusi tidak lepas dari insiden terkait obat. sehingga fungsi regulasi diperlukan agar industri farmasi dapat menjamin kualitas obat yang diproduksi.
Di Indonesia pengawasan keamanan dan mutu industri farmasi diatur dalam pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). CPOB merupakan suatu sistem yang memastikan setiap produksi obat oleh industri dilakukan dengan konsisten dan diawasi sesuai dengan standar yang berlaku sehingga resiko- terutama yang tidak dapat dideteksi saat produk akhir diperiksa-dapat diminimalkan. CPOB pertama kali disahkan oleh BPOM pada tahun 2006. Lima tahun setelah BPOM didirikan pada tahun 2001. CPOB merupakan aturan yang mengikat seluruh industri farmasi di Indonesia. Setiap industri farmasi harus taat pada ketentuan CPOB dan BPOM harus memastikan setiap industri farmasi menaati ketentuan CPOB.
Selain standar berupa CPOB yang mengatur mengenai produksi obat, pedoman resmi lain yang mengatur produk obat di Indonesia ialah Farmakope Indonesia yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Farmakope Indonesia memuat identifikasi, persyaratan cemaran, hingga persyaratan kadar senyawa yang memiliki efek farmakologi. Saat ini, di Indonesia berlaku Farmakope Indonesia edisi 6 yang dikeluarkan pada tahun 2020.
Konsep pengawasan mutu dalam industri farmasi
Pengawasan mutu merupakan fungsi penting yang harus dimiliki oleh setiap Industri Farmasi di Indonesia. Bagian pengawasan mutu bertujuan memastikan untuk setiap bahan yang dipasok dan digunakan serta produk yang akan dijual memenuhi persyaratan kualitas dan standar mutu yang sesuai dengan aturan standar, memenuhi klaim pada label dan memenuhi seluruh aspek hukum.
Kegiatan pengawasan mutu (diperlihatkan pada gambar di bawah) berkaitan dengan kegiatan pengambilan sempel, pengujian dan pemenuhan spesifikasi yang ditetapkan, kegiatan dokumentasi, dan pelaksanaan prosedur pelulusan. Bagian pengawasan mutu akan memeriksa untuk setiap bahan yang diterima dan digunakan untuk produksi dan untuk setiap batch produksi, baik produk baru ataupun produk yang pernah ada sebelumnya. Bagian pengawasan mutu juga bertanggung jawab untuk memeriksa dan mengambil keputusan pelulusan produk akhir sebelum didistribusikan.
Akan tetapi hanya dengan pengawasan mutu saja tidak dapat memenuhi seluruh fungsi jaminan keamanan dan mutu produk, oleh sebab itulah dikenal konsep CPOB di mana keamanan dan kualitas setiap produk tidak hanya ‘teruji’ namun harus ‘dibangun’ dengan konsisten. Untuk itu selain pengawasan mutu, CPOB juga mengharuskan industri farmasi memiliki sistem manajemen mutu, memastikan personil yang terlibat harus terkualifikasi, terlatih, dan terawasi, peralatan dan gedung yang digunakan memenuhi persyaratan dari segi lokasi, desain, konstruksi, dan terpelihara secara berkala, dokumentasi lengkap, tersedia dan runut untuk setiap batch pembuatan, setiap kegiatan dilakukan sesuai dengan prosedur standar, pemenuhan persyaratan jika produk dibuat atas dasar kontrak, penanganan komplain dan penarikan produk, serta audit internal. Pada prinsipnya aturan pengawasan mutu dapat dan harus terus diperbaharui dan publikasi dokumen pedoman dalam proses pengawasan mutu akan terus direvisi.
Penarikan Obat
Proses penarikan obat merupakan proses meniadakan produk obat yang rusak akibat produksi atau berpotensi membahayakan. Proses ini hampir terjadi setiap tahun, memiliki kecenderungan naik setiap tahun, dan tentu saja mempengaruhi industri farmasi, kesediaan obat di masyarakat serta berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat dalam menggunakan produk farmasi. Penarikan obat merupakan salah satu cara industri farmasi untuk menjaga kualitas produk dan pengendalian resiko dengan menarik produk yang bermasalah dari pasaran. Penarikan dapat terjadi akibat temuan produsen sendiri, keluhan dari pasien, atau perintah BPOM sebagai regulator. Istilah penarikan (recall) dalam industri farmasi tidak termasuk untuk produk yang ditarik dari pasaran akibat masalah minor yang tidak berhubungan dengan regulasi misalnya penarikan karena kelebihan stok, atau karena kemasan karton terluar harus diperbaiki. Jenis penarikan obat dikategorikan oleh BPOM sebagai berikut:
Penarikan kelas I: Penarikan obat akibat potensi bahaya kesehatan yang ditimbulkannya yakni dapat mengakibatkan kematian, cacat permanen, cacat janin, atau efek yang serius terhadap kesehatan
Penarikan kelas II: Penarikan obat yang apabila digunakan dapat mengakibatkan penyakit atau pengobatan keliru yang menimbulkan efek sementara bagi kesehatan dan dapat pulih kembali
Penarikan kelas III: Penarikan obat yang tidak menimbulkan bahaya signifikan terhadap kesehatan.
Proses penarikan obat obat harus dilakukan dengan langkah terencana dengan memperhatikan identitas produk (misalnya nomor batch) dan jumlah produk terdistribusi
Farmakovigilans sebagai pengawasan keamanan obat post market
Pada Juli 2022 BPOM mengeluarkan aturan tentang kewajiban industri farmasi dalam menerapkan farmakovigilans untuk menjamin keamanan obat yang beredar. Farmakovigilans adalah seluruh kegiatan yang terkait dengan pendeteksian, penilaian, pemahaman, dan pencegahan efek samping atau masalah lainnya terkait dengan penggunaan obat. Farmakovigilans tidak hanya mencakup penggunaan obat konvensional, namun juga herbal, obat tradisional, produk biologis seperti komponen darah dan vaksin. Di dunia internasional farmakovigilans merupakan suatu istilah yang berevolusi baru-baru ini yang juga sudah dipraktikkan sebagai respon akibat laporan terkait obat sejak 170 tahun yang lalu. Farmakovigilans merupakan aktivitas terstruktur melibatkan seluruh profesi kesehatan dalam memantau manfaat dan resiko obat, menjaga keselamatan pasien serta memperbaiki kualitas hidup pasien.
Industri Farmasi memberikan laporan Farmakovigilans kepada Pusat Farmakovigilans/MESO Nasional dapat berupa pelaporan spontan, pelaporan berkala pasca pemasaran, pelaporan studi keamanan, pelaporan publikasi/literatur. Pelaporan berkala pasca pemasaran farmakovigilans kepada Pusat Farmakovigilans/MESO Nasional setiap enam bulan sekali selama dua tahun pertama setelah perolehan izin edar, dan satu tahun sekali untuk tahun ketiga hingga tahun kelima setelah perolehan izin edar. Pelaporan ini termasuk untuk obat yang mengalami perubahan yang dapat mempengaruhi keamanan.
Pada prinsipnya regulasi mengenai pengawasan keamanana dan mutu harus terus diperbaharui dan dokumen pedoman dalam pengawasan keamanan dan mutu akan terus direvisi. Tidak dipungkiri insiden terkait obat di masyrakat selalu menjadi pemicu untuk evaluasi regulasi yang selama ini ada dan dijalankan. Bagaimana standar dan regulasi obat ditetapkan oleh pihak yang berwenang seperti BPOM/DEPKES RI dan bagaimana regulasi dijalankan oleh industri farmasi sangat menentukan derajat dan kualitas pelayanan kesehatan yang diterima masyarakat.